perspektif intraksional

nama : chrisdiana yulianti
nim : E1101161061

PERSPEKTIF INTRAKSIONAL

Proses komunikasi dalam perspektif intraksional yaitu nilai dalam individu sangat berpengaruh dalam berkomunikasi atau dalam proses penyampaian pesan. Perspektif interaksional tentang komunikasi manusia amat sering dinyatakan sebagai komunikasi dialogis atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog.Perspektif Interaksional mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep komunikasi.
            Dalam perspektif intraksonal ini terdapat beberapa model intraksional, dalam model intraksional terdapat komunikasi dua arah yaitu dari pengirim kepada penerima dan penerima kepada pengirim proses ini menunjukan bahwa komunikasi berlangsung terus menerus atau komunikasi sangat efektif karna mendapatkan feedback dalam berkomunikasi.
            Blummer mengemukakan tiga premis yang menjadi dasar model ini yaitu :
1.      Manusia bertindak berdasarkan makna yang diberikan individu terhadap lingkungan sosialnya (simbol verbal, nonverbal, lingkungan fisik)
2.      Makna berhubungan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan individu dengan lingkungan sosialnya
3.      Makna diciptakan, dipertahankan, dan diubah lewat proses penafsiran yang dilakukan individu dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Jadi interaksi ini dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia dan struktur itu sendiri tercipta dan dapat berubah karena interaksi yang terjadi antara invidu yang satu dengan individu yang lain.untuk melukiskan model inteaksional tentang komunikasi manusia dalam gambar berdimensi dua bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun gambar 4 dianggap dapat mencerminkan model interaksional, dalam banyak hal ia dapat memberikan gambaran yang salah. Pertama – tama, model itu mengemukakan adanya pemisahanan diri, orang lain, dan objek, yang realitasnya, orientasi terhadap ketiganya bersifat simultan dan tidak terpisahkan – lebih merupakan orientasi gestalt, masing – masing mempengaruhi oleh yang lainnya.
Model inipun sebagai yang tergambarkan, menggambarkan kemangunggalan yang unidimensional dari diri, oranglain, objek, dan konteks cultural, yang jelas tidak mencerminkan realitas. Model ini juga tidak memungkinkan secara jelas menggambarkan tindakan, yang merupakan sine qua non dari perspektif interaksional.
Dengan kata lain, gambar 4 dapat merupakan gambar model interaksional, akan tetapi gambar lazimnya tergantung pada pembatas kertas yang berdimensi dua – tinggi dan lebar. Sebagaimana model – model yang dikemukakan dalam pembadahasan yang terdahulu, beberapa perpektif tidaklah mudah untuk disesuaikan pada konsep model komunikasi sebagai lukisan dalam bentuk gambar.

Tempat (Lokus) – Pengambilan Peran
Umumnya, perspektif interaksional di bidang komunikasi manusia merupakan reaksi humanistis terhadap mekanisme dan asumsi yang menyertainya tentanng kelineran yang terletak dalam saluran. Perpektif psikologis faham behaviorisme S-O-R-R sebenarnya tidak teralalu mengecewakan seperti mekanisme, akan tetapi model pelazimanan yang tesirat dalam faham behaviorisme membuat perspektif ini tidak dapat diterima dalam filsafat humanistis. Kedua perspektif itu terkandung di dalamnya kelinearan factor – factor kuasi – kausal yang menentukan mekanistis atau psikologis, sampai pada batas – batas tertentu, individu menjadi ‘korban’ dari pengaruh eksternal.
Walaupun asal mula perspektif interaksional komunikasi manusia dapat ditelusuri sampai ke filsafat eksistensialisme dan bahkan ke Socrates, sumbernya yang khusus dan komprehensif dari perspektif ini secara langsung ataupun tidak langsung adalah interaksionalisme simbolis dalam sosiologi. Mead dan Blumer telah bertindak sebagai sumber – sumber utama bagi filsafat dasarnya, yang melandasi model interaksional komunikasi manusia. Secara khusus lagi, arah perkembangan dalam masyarakat ilmiah komunikasi manusia yang memperlakukan komunikasi sebagai dialog adalah adanya indikasi yang terang sekali daru oendekatan interaksional pada studio komunikasi manusia.
Popularitas  interkasionalisme berasal sebagian dari reaksi humanistis tergadao mekanisme dan psikologisme. Akan tetapi, yang lebih penting lagi, adalah pemberian penekanan yang manusiawi pada diri sebagai unsure pokok perpektif interaksional. Tetapi daripada memandang diri hanya sebagai internalisasi pengalaman indivisual, interaksional lebih menerangkan perkembangan diri melalui proses ‘penunjukan diri’ di mana individu dapat ‘bergerak ke luar’ dari diri dan melibatkan dirinya dalam introspeksi dari sudut pandangan orang lain.
Dengan cara yang sama, individu dapat melibatkan dirinya dalam pengambilan peran dan mendefinisikan diri maupun orang lain dari sudut pandang orang lain. Fenomena pengambilan peran inilah yang memungkinkan adanya pengembangan diri semata – mata sebagai proses sosial – dalam proses introspeksi ataupun ekstrospeksi. Oleh karena, hanya melalui interaksi sosial, diri atau hubungan dapat dikembangkan. Dan pengambilan peran tidak hanya merupakan unsure sentral dari perspektif interaksional, akan tetapi juga merupakan unsur yang unik.
Perpektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam suatu perkembangan yang bersifat proses dari komunikasi manusia. Penekanannya pada tindakan memungkinkan pengambilan peran untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu – individu yang lain untuk membentuk kolektivitas. Tindakan bersama dari kolektivitas itu mencerminkan tidak hanya pengelompokan sosial akan tetapi juga adanya oersaan kebersamaan ataupun keadaan timbale balik dari individu – individu yang bersangkutan, yang dilukiskan dalam model sebagai ‘kesearahan’ orientasi individu – individu terhadap diri orang lain, dan objek.
Barangkali implikasi yang paling penting dari perspektif interaksional bagi studio komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan pemberian penekanan pada metodologi penelitian. Implikasinya yang pertama mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran yang akan dijalankan oleh peneliti. Daripada hanya digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya berat sebelah, tidak bias, dan tidak tertarik atau fenomena empiris, peneliti interaksional menjalankan peranannya sebagai seorang pengamat – partisipan dalam pelaksanaan penelitiannyta. Ia melibatkan dirinya dalam pengambilan peran agar dapat menemukan sudut pandangan para subjek penelitian. Dari sudut pandang mereka, peneliti mengoperasionalkan konsep dan menjalankan observasi empirisnya, akan tetapi, validasi konsep penelitiannya bergeser dari criteria eksternal ke sudut pandangan para subjek penelitian itu sendiri.
Perpektif interaksional dengan jelas merupakan sumber yang menarik oergatuab irabf dakan oebfertuab vagwa ua verada dalam tahap perkembangan yang kontinu. Dalam artian sebagai ‘revolusi yang masih belum tuntas’ setiap penemuan penelitian secara relative bersifat baru dan mengarah ke banyak arah yang baru. Penelitian yang kontemporer mencerminkan jiwa penelitian yang sesungguhnya dalam artian bahwa para peneliti tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam pengukuhan atau verifikasi hipotesis, akan tetapi lebih banyak berusaha menemukan bagaimana hipotesis itu seharusnya. Penelitian interaksional masih harus banyak memberikan jawaban pada masalah ataupun masih harus menghasilkan banyak jawaban. Ia telah menimbulkan banyak masalah baru yang sebelumnya masih belum diketahui sebagai masalah bagi penelitian.
Pada sisi lain, penelitian interaksional kurang memiliki arah atau fokus dalam upaya – upayanya. Para peneliti harus masih harus mengembangakan metodologi baru yang diperlukan bagi panduan interaksional / dialogis dan, sebagai gantinya, bukan mencoba dengan paksa mencocokan masalah penelitian interaksional ke dalam metodologi tradional – khususnya yang bersikap psikologis. Oleh karenanya, para peneliti yang didorong faham interaksionalisme juga belum mengembangkan fokus bersama tentang variable apa yang paling penting, konsep apa yang perlu dikembangkan atau dikaji, dan kea rah mana usaha mereka itu selauaknya diarahkan. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa penelitian yang terprogramkan, yang menghasilkan kumulasi hasil penelitian tidak menandai penelitian komunikasi dalam paradigm interaksional.
Sebagai akibatnya, sebagian anggota masyarakat ilmiah cenderung memandang rendah perspektif interaksional. Sudah tentu itu hak mereka dan bahkan kewajiban mereka untuk memandang pengkajian disiplin ilmu dengan kewaspadaan yang kritis. Namun, sayangnya, banyak dari kritik itu didasarkan pada criteria – criteria yang salah --- metodelogi – metodelogi yang lain atau yang belum dikenal, yang tidak mereflesikan pendekatan yang lebih tradisional dalam melakukan penelitian. Argumen – argumen seperti sinonim – yakni, mengkritik satu paradigma dari sudut pandangan yang lain benar – benar menyesarkan dan tidak sesuai dengan jiwa penelitian ilmiah. Tidak akan membanyak kemanapun.
Secara relative persepktif interaksional masih baru bagi disiplin komunikasi manusia. Nilai sesungguhnya yang diperlihatkan masih harus direalisasikan. Potensi bagi wawasan baru dalam proses komunikasi manusia luar biasa. Dalam satu hal, tinjuan interaksional – dialogis tentang komunikasi manusia sedang dalam masa ‘bulan madu’. Ia hanya dapat diwvaluasi atas dasar potensinya. Kita harus memgambil sikap menunggu dan melihat. Pada waktu ini, pendekatan bersikap revolusioner dan berbeda sekali. Apa yang akan terjadi dalam 20 tahun yang akan datang akan memperlihatkan nilai perspekstif itu kepada masyarakat ilmiah – secara langsung dapat dilihat kualitasnya dari penemuan penelitiannya. Dalam situasi apapun, apapun yang terjadi – apakah makin meningkat kepopulerannya dan makin penting penelitiannya, atau hilangnya interaksional memberikan pandangan humanistis yang segar pada komunikasi manusia.

Sumber:


Komentar

Postingan populer dari blog ini

perspektif mekanistik dalam komunikasi

Teori sosiokultural dan sosiopsikologis

perspektif pragmatis dalam komunikasi